Kamis, 19 Agustus 2010

PETUALANGAN

MINGGU, 14 MARET 2010




Re: [Jejak Petualang] Re: Fwd: Memutar Kemudi Pecinta Alam



Aku setuju dengan tulisan ini.....bahkan sangat setuju.  aku juga pernah mengkritisi para JPers di milis ini, aktivitas yang dirilis koq cuma 'naik gunuuung' melulu.  Apa manfaatnya bagi orang banyak?, apa manfaatnya bagi lingkungan ?, apa manfaatnya bagi negara ?, apa manfaatya bagi anak cucu kita ?. 
Buat gue, naik gunung, hiking, dan penjelajahan sejenis, cuma akan melantunkan kebanggaan sesaat, setelah itu..... tidak ada !?
Cobalah anak cucu kita bikin bangga dengan menunjuk, hutan itu bapak ku yang menanam, pohon ini bapakku yang melihara, dsb. OK !?


HIrau Jenggala hiJAU <hijjau@...> wrote:Sebuah ulasan yang bagus untuk kita bis abercermin akan apa yang
selama ini kita lakukan untuk sebuah kesenangan. Apa yang diuraikan
Mas Harry adalah reality yang ada dilapangan. Memang tidak semua
berprilaku yang kurang bersahabat dengan alam, namun yg mendominasi
justru hal2 yang kurang berkenan. Disadari atau tidak kita termasuk
yang ikut andil didalamnya.

Dari awal makna dari pecinta alam itu sendiri sudah salah kaprah,
karena justru porsi terbesar adalah petualangan bukan masalah
konservasi. Munculnya klub2 pecinta alam layaknya jamur dimusim
penghujan, begitu subur dan menggairahkan di dukung dengan keadaan
alam yang sangat menunjang, namun bila tak ada misi dan visi yangCoba lihat betapa sering mereka mempublish expedisi-expedisi yang
dianggap fenomenal bila menjadi yang pertama menaklukan alam.
Sehingga ini yang dijadikan barometer para pecinta alam / KPA
lainnya. Sehingga berlomba-lomba mengikuti idolanya :(
Sungguh sebuah pembelajaran yang kurang bijak yang pernah dilakukan.

Sulit rasanya merubah paradigma lama yang sudah mengakar dan menjadi
sebuah kebanggaan. Hanya satu cara untuk mulai merubah, yaa kita
mulai merubah prilaku diri sendiri untuk lebih baik dan menjadikan
contoh positif untuk orang lain.

Lakukan hal terkecil sebelum memikirkan hal yang besar yang dapat
kita lakukan. Apa yang menurut kita tidak baik, jangan dijadikan
sebuah tameng untuk turut melakukannya.


Bertidak dengan bijak dan berpikir dengan jernih, akan membawa kita
menuju perbaikan yang berarti.
Semoga, alam dan pengalaman dapat membimbing kita untuk lebih arif
dalam setiap ayunan langkah kaki kita dimanapun berpijak.

--- In jejakpetualang@yahoogroups.com, "baduy amazone"
<baduy237@...> wrote:
>
> maaf kalau double posting.
>
> salam
> ba
>
> Memutar Kemudi Pencinta Alam
jelas tentunya bukan sebuah berita gembira, tapi justru sebaliknya.

Lihat MAPALA atau KPA yang mempunyai nama besar, yang menjadi
panutan MAPALA atau KPA lainya justru memberikan contoh yang kurang
simpatik akan pembelajaran terhadap alam. Yang mereka kedepankan
justru lebih banyak sisi petualangannya saja.


> Bahasan peran pencinta alam sebenarnya adalah sebuah cerita basi,
dari
> dulu sampai sekarang selalu menjadi bahan cerita. Sayang pembahasan
> ini belum begitu dibarengi dengan langkah-langkah strategis. Sekian
> banyak organisasi yang mengatas namakan dirinya sebagai pencinta
alam
> ternyata berjalan beriringan dengan tingginya angka kerusakan
> lingkungan. Setuju atau tidak, salah satu unsur pengrusakan alam
bisa
> jadi ada dalam aktivitas pencinta alam itu sendiri.
>
> Menjamurnya organisasi penggiat dan pencinta alam atau apapun
namanya,
> yang ada kaitannya dengan Kegiatan Alam Terbuka (KAT). Pada
dasarnya
> dapat mengindikasikan semakin suburnya semangat berorganisasi dan
> kemauan generasi untuk mengenal lingkungannya. Event-event atau
> ekspedisi besar kerap dilakukan. Penjelajahan ke tempat-tempat
asing

> yang bernuansa eksotik dan menantang menjadi menu wajib
penggiatnya.
> Bahkan tak jarang cerita-cerita ini menjadi petuah ampuh para
senior
> yang sudah tinggi jam terbangnya saat berbagi cerita dengan
juniornya.
> Euphoria dan romantisme pendakian, pengarungan, penelusuran dan
> pemanjatan pun akhirnya begitu menggema hingga ke generasi
berikutnya.
> Kisah-kisah haru biru dan menjajal ketangguhan diri ini, kemudian
> menjadi pengalaman tersendiri bagi pelakunya. Kepuasannya hanya
> dinikmati para pelakunya. Kendati dokumentasi secara tertulis yang
> telah dibukukan terkadang menjadi bacaan `best sellers' namun
sayang
> jiwa petualangan begitu mendominasi dibanding upaya dan tindakan
yang
> arif dan bijak terhadap lingkungan atau alam.

> Bukan bermaksud meminggirkan sebuah kisah petualangan, tapi kita
coba
> berani melihat ini secara proporsional dan jujur. Sudah sejauh
manakah
> peran kita terhadap perlindungan lingkungan? Apa yang telah kita
> bhaktikan terhadap lingkungan atau alam?. Kalau dibongkar, secara
> konservatif sebenarnya dapat kita lihat dalam susunan program kerja
> yang telah disusun dalam sebuah organisasi pencinta atau penggiat
alam
> yang kita geluti. Berapa prosentasenya, antara aktivitas
petualangan
> dan aktivitas yang berbau penyelamatan lingkungan. Sudahkah ada
> keberimbangan? Tapi ingat menjawabnya harus dengan sejujur mungkin
> bukan jawaban benar.
>
> Ada stigma yang lahir dari dahulu, bahwa pencinta alam itu selalu
> hura-hura, kerjaannya naik gunung terus, kemana-mana selalu bawa
> ransel atau tas besar dan entah apa isinya. Dan dewasa ini, rasanya
> stigma ini bukan lagi sebagai ungkapan tapi lebih kepada fakta.
> Ternyata kita memang enggan atau mungkin tidak bisa merubah image
> miring ini. Pencinta alam sudah menjadi mode, membanjirnya
> produk-produk outdoor di pasaran membuat atribut-atribut pencinta
alam
> bisa dikenakan siapa saja. Sudah tidak zaman lagi celana lapangan

> hanya dipakai anak gunung, bandana sudah menjadi ikat kepala anak-
anak
> gaul. Miniature cincin kait pun sudah banyak yang dipakai untuk
hiasan
> tas. Yang mirisnya, buat mereka yang memang berlabel pencinta atau
> penggiat alam pun ternyata ikut terlibas dengan trend mode. Sulit
> dibedakan mana yang memang anak pencinta alam atau bukan secara
> tampilannya. Yang bawa ransel belum tentu anak pencinta alam dan
> bahkan yang bisa panjat tebit pung tidak mesti harus masuk
organisasi
> pencinta alam terlebih dahulu. Lalu apa yang membedakannya?, hanya
> sikap, kepedulian dan nilai-nilai luhur yang dianutnya. Sejatinya,
> pencinta alam bukan diukur secara penampilan, tapi lebih kepada
nilai,
> jiwa, sikap, solidaritas, pandangan dan tindakan mereka terhadap
> penyelamatan lingkungan atau alam. Selain aktif dalam kegiatan alam
> bebas, mereka juga peduli terhadap perlindungan dan pelestarian
dari
> wadah bermainnya.
>
> Lalu yang menjadi tanda tanya besar sekarang adalah, apakah sikap,
> kepedulian dan nilai-nilai luhur yang melekat pada anak pencinta
alam
> itu masih ada? Ataukah sudah tergerus dan kemudian sama dengan
mereka
> yang jelas-jelas bukan berlabel pencinta alam?. Pertanyaan serius
ini
> memang tidak mudah dijawab. Akan tetapi fakta menunjukkan bahwa
pada
> umumnya kita memang lebih terlena pada romantisme petualangan.
> Aktivitas-aktivitas kampanye lingkungan, demo-demo atau peringatan
> hari bumi atau lingkungan tak lebih menjadi sebuah seremonial
belaka.
> Belum dibarengi dengan pen-darah dagingan nilai-nilai lingkungan
dalam
> jiwa seorang pencinta alam.

> Implikasi dari semua ini akhirnya, makin mengukuhkan image miring
yang
> sudah dari dahulu lahir. Tanpa disadari kita sendiri yang ikut
> melemahkan 'positioning' pencinta alam itu sendiri. Ada analogi
> sederhana yang mungkin dapat menggambarkan kondisional pencinta
alam
> saat ini. Kita akan mengambil contoh dari kehidupan sehari-hari
kita
> yaitu, sebagaimana kita ketahui dan dimanapun kita bertanya yang
> namanya "Gudang Garam" atau "Djarum (jarum)" pasti akan dijawab
> 'Rokok'. Orang dewasa sampai kecil biasanya akan menjawab dengan
> jawaban yang sama bahwa Gudang Garam atau Djarum itu adalah salah
satu
> nama merk rokok terkenal yang ada di negara kita. Padahal
sesungguhnya
> makna semantik dari dua kata tadi adalah bahwa Gudang Garam itu
adalah
> gudang atau tempat penyimpanan garam, dan jarum itu adalah alat
untuk
> menjahit. Rasanya akan sedikit sekali yang mau mendefinisikan
Gudang

> Garam atau Jarum tadi dengan definisi diatas. Sebab ini sudah
menjadi
> hal yang biasa dan selalu hadir dalam kehidupan kita sehari-hari.
> Terlepas dari kemampuan produsennya yang memang jago dalam
> mempublikasikannya, dua kata tadi hanya sebagai perumpamaan saja,
> untuk menunjukkan bahwa ada pergeseran makna sebenarnya dari sebuah
> kata Gudang Garam atau Djarum. Sekarang, istilah tadi kita gantikan
> dengan "Pencinta Alam" apakah kita akan mendefinisikan dan memaknai
> ini sesederhana seperti menjawab rokok, sebagaimana halnya ini
sudah
> menjadi kebiasaan kita sehari-hari? Adakah pergeseran makna dari
> Pencinta Alam sebenarnya saat ini? atau jangan-jangan Pencinta Alam
> memang sudah sama dengan rokok, hanya sekali pakai. Hidupkan dan
bakar
> lalu menjadi abu.
>
> Pembenahan kemudi ini, pada prinsipnya hanya pilihan bagi kita, toh
> tanggung jawab kita sebagai umat manusia sudah pasti dituntut
kelak,

> tentang apa yang telah kita perbuat selama ini terhadap alam. Hanya
> saja sekarang, tuntutan terhadap penyuaraan lingkungan dewasa ini
> sudah begitu mendesak. Kerusakan sudah terjadi dimana-mana, 97%
> permukaan bumi ini sudah dikuasai untuk memenuhi kebutuhan manusia,
> lalu apakah sisanya pun akan kita paksakan juga untuk
memuaskannya?.
> Sudah menjadi sangat penting bagi anak pencinta alam untuk
> mendiskusikan ini secara lebih intensif. Materi-materi yang
berkaitan
> dengan lingkungan dalam sistem pendidikan dasar organisasi pencinta
> alam sudah tak wajar lagi kalau hanya menjadi materi pelengkap atau
> tambahan. Silabusnya menuntut keberimbangan antara olah raga alam
> bebas dan lingkungan. Dan kedepan, inilah yang akan menjadi salah
satu
> pembeda antara organisasi pencinta alam dan organisasi lain.
>
> Hobi naik gunung tidak mesti harus terhenti karena mau
menyelamatkan
> lingkungan, sebab melindungi lingkungan tidak mesti harus ada event
> khusus, hari khusus atau jumlah orang yang banyak. Cukup dengan
> mengantongi sampah dalam baju atau celana kalau tidak ketemu tempat

> sampah rasanya sudah jauh lebih baik daripada tidak sama sekali.
> Rasa-rasanya sudah selayaknya, kemudi yang selama ini agak sedikit
> melenceng dari pemaknaan sebenarnya tentang pencinta alam harus
> dibenahi. Sebelum ini berlarut dan menjadi arah jalur atau
kebiasaan
> bagi seorang pencinta alam. Dan orang yang sudah terlanjur atau

> berkeinginan masuk dalam sebuah organisasi pencinta alam harus bisa
> membedakan dirinya dengan mereka yang bukan anak organisasi
pencinta
> alam. Sudah saatnya anak-anak pencinta alam menjadi pembicara dalam
> seminar-seminar atau diskusi yang membahas tentang lingkungan atau
> alam. Mereka harus menjadi `opinion leader' dalam isu-isu
lingkungan,
> dan bukan pengekor isu. Bukan tidak mungkin artinya, anak pencinta
> alam bisa memiliki posisi tawar yang lebih kuat ketika mengkritisi
> persoalan lingkungan dihadapan publik. Dengan kelengkapan data-data
> dari perjalanan (pendakian, mis) yang telah dilakukan dan kemampuan

> lapangan serta ruangan yang tangguh, rasanya tidak ada lagi yang
akan
> memandang sebelah mata anak-anak pencinta alam.
>
> Terakhir, memutar kemudi ini sekali lagi harus diawali dengan
> kejujuran dan komitmen yang kukuh. berangkatnya hanya dari sebuah
> pertanyaan sederhana "Sebagai anak Pencinta Alam, apa kontribusi
kita
> terhadap alam??".


>
> Penulis adalah mantan Ketua Umum Pencinta Alam Fakultas Ekonomi
> Universitas Bengkulu (PAFE-UNIB), 2003-2004 dan sekarang aktif
sebagai
> Koordinator Pengembangan Kelembagaan SPORA-Bengkulu (Solidaritas
untuk
> Pengelolaan Lingkungan Berbasis Masyarakat)